Setiap tahun, kita diingatkan bahwa bangsa ini telah lama merdeka. Tanggal 17 Agustus menjadi perayaan rutin, dengan upacara bendera, lomba rakyat, dan semangat nasionalisme yang menggema di mana-mana. Di kota-kota besar, warna merah putih mewarnai jalan protokol, pusat perbelanjaan, hingga media sosial. Tapi, jauh dari sorotan pusat, di pelosok-pelosok negeri, muncul pertanyaan sunyi, Apakah kami juga benar-benar merdeka?
Pertanyaan ini bukan bentuk ketidakpuasan buta. Ini adalah perasaan yang muncul dari realitas sehari-hari yang seringkali kontradiktif dengan makna “kemerdekaan” itu sendiri. Di atas kertas, Indonesia sudah 80 tahun merdeka. Tapi di lapangan, kemerdekaan itu tidak selalu terasa merata.
Merdeka dari Apa?
Sejak dulu, narasi kemerdekaan dibingkai dalam konteks pembebasan dari penjajahan asing. Tapi dalam konteks hari ini, kemerdekaan seharusnya bermakna lebih luas bebas dari kemiskinan, dari ketimpangan, dari ketidakadilan, dan dari keterbelakangan.
Sayangnya, di banyak daerah, terutama di wilayah kepulauan, pedalaman, atau yang jauh dari pusat pemerintahan, bentuk-bentuk “penjajahan baru” masih terasa. Bukan oleh bangsa lain, tapi oleh sistem dan ketimpangan struktural yang membuat mereka tertinggal dari segi akses, fasilitas, bahkan perhatian.
Infrastruktur: Kemerdekaan yang Belum Tuntas
Coba bayangkan, di saat sebagian orang menikmati internet cepat untuk belajar dan bekerja dari rumah, masih banyak warga yang harus berjalan berjam-jam hanya untuk mencari sinyal. Sekolah ada, tapi gurunya jarang masuk. Puskesmas berdiri, tapi tidak punya tenaga medis atau obat-obatan memadai. Jalan utama rusak, listrik padam berkali-kali dalam sehari, dan harga kebutuhan pokok naik dua kali lipat dari kota.
Apakah itu yang disebut merdeka?
Bagi mereka yang tinggal di pusat kota, hal seperti jalan bagus, jaringan internet, dan listrik 24 jam adalah hal biasa. Tapi bagi masyarakat di daerah terpencil, semua itu adalah kemewahan. Perbedaan akses inilah yang menciptakan ketimpangan antarwilayah dan pada akhirnya membuat sebagian rakyat merasa ditinggalkan.
Pendidikan: Merdeka Belajar atau Sekadar Bertahan?
Salah satu indikator paling nyata dari kemerdekaan adalah akses terhadap pendidikan yang layak. Sayangnya, di banyak daerah, pendidikan masih menjadi perjuangan panjang. Fasilitas minim, guru tidak tersedia, dan anak-anak harus menempuh perjalanan jauh untuk bisa duduk di bangku sekolah.
Lebih ironis lagi, kurikulum yang dipakai sering kali tidak kontekstual dengan kondisi daerah. Anak-anak diajarkan hal-hal yang tidak relevan dengan lingkungan mereka, seakan-akan pengetahuan yang mereka butuhkan harus disesuaikan dengan standar kota. Padahal, kearifan lokal dan potensi daerah bisa menjadi sumber ilmu yang kaya jika dikelola dengan bijak.
Kesehatan: Masih Jauh dari Kata Setara
Kemerdekaan seharusnya membawa jaminan hak hidup sehat. Tapi di banyak daerah, bahkan untuk mendapatkan layanan dasar saja masih sulit. Ibu hamil terpaksa melahirkan di rumah karena jarak ke fasilitas kesehatan terlalu jauh. Anak-anak tumbuh dalam kondisi kekurangan gizi karena kurangnya edukasi dan ketersediaan pangan yang sehat.
Pandemi kemarin memperlihatkan dengan jelas betapa timpangnya sistem kesehatan di Indonesia. Fasilitas di daerah terpencil tidak sanggup menghadapi lonjakan pasien, dan bantuan yang datang sering kali telat atau tidak sesuai kebutuhan.
Suara yang Tak Didengar
Merdeka juga berarti bebas bersuara, bebas menyampaikan pendapat. Tapi di banyak daerah, suara rakyat seperti dibungkam oleh jarak dan sistem yang tidak memihak. Media massa nasional jarang meliput persoalan daerah, dan jika pun ada, hanya muncul sesekali dalam bentuk berita musiman.
Akibatnya, banyak isu lokal yang tidak pernah naik ke permukaan. Masyarakat sering kali hanya bisa mengeluh dalam lingkup kecil, tanpa saluran aspirasi yang kuat untuk menyuarakan kepentingan mereka.
Ekonomi: Mandiri yang Masih Tertatih
Kemerdekaan ekonomi bukan hanya tentang angka pertumbuhan, tapi soal bagaimana rakyat kecil bisa hidup dengan layak dari tanahnya sendiri. Sayangnya, banyak komoditas unggulan daerah yang justru tidak dinikmati keuntungannya oleh masyarakat lokal.
Petani dan nelayan masih berhadapan dengan harga jual yang tidak adil, tengkulak yang menekan, dan akses pasar yang terbatas. Ketika harga naik di pusat kota, mereka tidak mendapat bagian dari keuntungan itu. Padahal, merekalah tulang punggung produksi.
Kemerdekaan Harus Dirasakan, Bukan Hanya Dirayakan
Bukan berarti kita tidak boleh merayakan Hari Kemerdekaan. Tapi merayakannya tanpa mengkaji makna sejatinya hanya akan menjadikan peringatan ini sebagai formalitas tahunan.
Kemerdekaan sejati adalah ketika semua warga negara, tanpa terkecuali, merasakan manfaat dari sistem yang adil. Ketika tidak ada lagi anak-anak yang tertinggal pelajaran karena tidak punya sinyal. Ketika ibu di desa bisa melahirkan dengan aman. Ketika suara warga kecil didengar dan diperjuangkan.
Harapan dari Pinggiran
Meski realita tidak seindah slogan, harapan itu masih ada. Banyak anak muda di daerah yang mulai bergerak, membangun komunitas, menjadi relawan pendidikan, mempromosikan potensi lokal, dan menyuarakan perubahan. Mereka adalah simbol bahwa semangat kemerdekaan belum padam.
Kita hanya perlu memperkuat mereka. Mendengarkan lebih banyak suara dari pinggiran. Memberikan ruang dan kepercayaan bagi masyarakat lokal untuk menentukan arah hidupnya sendiri.
Penutup:
Merdeka bukanlah sesuatu yang final. Ia adalah proses panjang yang harus terus diperjuangkan. Bukan hanya oleh mereka yang berada di pemerintahan, tapi juga oleh kita semua, sebagai bagian dari bangsa ini.
Dan mungkin, menjelang perayaan kemerdekaan kali ini, sudah saatnya kita bertanya jujur pada diri sendiri: Apakah kemerdekaan itu hanya sekadar seremoni? Atau benar-benar menjadi kenyataan yang bisa dirasakan hingga ke ujung-ujung negeri?(*)